(2Sam. 23:5)

KJV—”Although my house be not so with God; yet he hath made with me an everlasting covenant, ordered in all things, and sure: for this is all my salvation, and all my desire, although he make it not to grow.”

Ayat di atas menunjukkan kekecewaan Daud pada kehidupan keluarganya. Dia dapat merasakan pedihnya saat sesuatu tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan.

I. KEHIDUPAN DAUD

  1. Daud adalah sosok yang berkenan di hati Tuhan (1Sam. 16:7); dia adalah biji Allah (Mzm. 17:8); dia membenci pikiran yang sia-sia dan mengasihi hukum-hukum Allah (Mzm. 119:20). Dia berdoa pada pagi-pagi hari (Mzm. 119:147); dia saat teduh di tengah malam (Mzm. 119:62), 7 kali sehari dia memuji Tuhan (Mzm. 119:164).
  2. Namun, Daud tetap tidak sempurna. Saat berdosa, dia bertobat dengan segera dan sungguh-sungguh (Mzm. 32, 51).
  3. Kesetiaannya kepada Tuhan bukanlah sementara tetapi kebiasaan seumur hidup (Kis. 13:36)
  4. Keluarga yang diharapkan Daud (Mzm. 128:1-6)—isteri yang mengagumkan, anak-anak yang taat, rumah yang penuh dengan nyanyian, pujian, kerendahan hati, dan kasih.

II. KEADAAN KELUARGA DAUD YANG SESUNGGUHNYA

  1. Isteri pertamanya adalah anak perempuan Saul, Mikhal—dia semula mencintai Daud, bahkan rela ambil risiko untuk menyelamatkan Daud. Namun, dia kemudian mengalami kepahitan dan berubah mengolok suaminya (2Sam. 6:20) karena Daud mengasihi Tuhan dan menari di hadapan Tuhan dengan segenap tenaga (2Sam. 6:14)
  2. Isterinya banyak—Mikhal (1Sam. 19:11); Abigail (1Sam. 25:42); Ahinoam (1Sam. 30:5); Maakha (2Sam. 3:3); Hagit (2Sam. 3:4); Abital (2Sam. 3:4); Egla (2Sam. 3:5); Batsyeba (2Sam. 12:24) (Yak. 3:16)
  3. Jika isterinya buruk, anak-anaknya lebih buruk—mereka tumbuh dan menyakiti hatinya—Amnon memperkosa saudaranya (2Sam. 13); Absalom membunuh saudaranya dan memberontak terhadap ayahnya (2Sam. 13; 15-18); Adonia menginginkan takhta saudaranya (1Raj. 1:5), dst. Apakah itu muncul dengan sendirinya? Tidak! (Ams. 20:11)

III. KESALAHAN DAUD

  1. Apakah Daud bertanggung jawab akan hal itu?—Hosea punya isteri yang sangat jahat, namun bukan kesalahannya. Bukan jika sungguh-sungguh (Ef. 6:4)—nurture
  2. Apakah Daud berperan dalam kekacauan keluarganya? Ya. Lihat kasus Adonia (1Raj. 1:6; 2Sam. 3:4)—karena elok—bukankah demikian dengan Absalom? (2Sam. 14:25); Salomo?—Daud ayah yang toleran (kompromis; longgar) (Ams. 22:15; 29:15)
  3. Poligami bukan rencana Allah (1Tes. 4:4)
  4. Perzinaan dan pembunuhannya tentunya menjadi teladan buruk buat anak-anak (2Sam. 11)

IV. PENGAKUAN DAUD (ay. 5b)

  1. Menjelang akhir hidupnya—dikatakan dengan iman—Allah tetap dapat memakai keluarga yang tidak sempurna sebagai jalan kedatangan Mesias ke dunia.
  2. Penerapan bagi kita: Masalah-masalah keluarga tidak memisahkan kita dari kasih Kristus (Rm. 8:38-39):
    1. Tidak dengan suami/isteri yang tidak setia
    2. Tidak dengan isteri yang selalu mengkritik
    3. Tidak dengan anak-anak yang tidak taat
    4. Tidak dengan orangtua yang menganiaya anak-anak
    5. Tidak pula dengan gabungan semua masalah itu
  3. Di tangan Tuhan, semua masalah itu bekerja sama untuk kebaikan kita (Rm. 8:28), Bagaimana mungkin (1Ptr. 3:7):
    1. Mengungkapkan kepada kita hal yang perlu kita ketahui, tetapi tidak dapat kita ketahui tanpa adanya masalah. Ayub berkata bahwa dia tidak bersalah, hingga kesulitan hidup dialaminya, saat itulah, dia bertobat (Ayb. 42:6)
    2. Berbagai macam pergumulan itu mengingatkan kita betapa tergantungnya kita kepada Allah. Simson membutuhkan Tuhan setiap saat. Namun, dia tidak mengetahuinya hingga dia mengalami hal yang berat. Dikhianati isterinya, dibutakan, dicambuk, dibelenggu, dan bekerja bersama lembu dan keledai. Saat itulah dia berseru pada Tuhan. (Hak. 16:28)
  4. Bagaimana seorang isteri dapat membuat suaminya setia? Bagaimana orangtua membuat anak-anaknya saling mengasihi? Kita tidak bisa melakukannya. Namun, bagi Tuhan semuanya mungkin,
    1. Kesulitan melatih kita dan menguatkan kita (Yak. 1:3)—kita dilatih untuk lebih sabar, menguasai diri, rendah hati, banyak berdoa, dan penuh pengharapan.
    2. Itu memberikan kita kerinduan akan surga (Why. 14:13). Bagi orang percaya, masalah apapun itu tidak kekal.

Renungan

  • Jika keluarga Anda seperti keluarga Daud, bertobatlah pada Tuhan. Masalah sekecil apapun hendaknya menjadi sinyal bagi kita untuk berdiam, membuka pedoman kita, dan kembali ke jalan yang dikehendaki Tuhan (Mzm. 119:105)
  • Kristus mengasihi Anda apa adanya dan apapun yang Anda alami. Jika suami Anda tidak setia, Juruselamat Anda setia. Jika orangtua Anda tidak peduli pada Anda, Bapa di surga tetap mengasihi Anda. Jika anak-anak Anda membuat Anda menangis saat mungkin Anda berbaring, hadapilah bersama Tuhan (2Kor. 4:17)

Source link

(Mzm. 127:1-5; Ti. 2:4-5)

Saudara, dalam tahap perkembangan manusia, sebagaimana yang telah ditentukan Allah, kita semua menjadi bagian suatu keluarga. Kita mengharapkan keluarga Ukuran keberhasilan keluarga adalah Alkitab bukan seperti yang digambarkan dunia, yaitu sekadar berupa kecukupan materi.

Pertama, apakah keluarga yang berhasil itu? Keluarga yang berhasil adalah keluarga yang dibangun oleh Tuhan bukan manusia (Mzm. 127:1). Lalu, dari segi kepemimpinan, keluarga yang berhasil adalah keluarga di mana suami atau ayah menjadi kepala keluarganya dibawah pimpinan Tuhan Yesus Kristus (1Kor. 11:3; Ams. 12:4). Anggota keluarga harus menghormati suami/ayah (Ef. 5:23) karena dialah yang ditetapkan Allah sebagai kepala (Ef. 5:23). Karena itu, jika ingin berjalan dalam rencana Allah yang indah bagi keluarga Anda, suami/ayah harus berperan aktif dalam mewujudkan keharmonisan dalam keluarga.

Inti dari keluarga adalah suami-isteri yang menjadi satu daging (Mat. 19:5). Dalam prinsip kesatuan ini, suami-isteri harus menjalankan perannya sesuai Alkitab—isteri harus tunduk pada suami; suami harus mengasihi isteri. Kesatuan itu menuntut keterbukaan, komunikasi yang sehat, pengertian, dan juga persekutuan dengan ‘pihak ketiga’ yaitu Allah yang telah mempersatukan keduanya. Jangan sampai keharmonisan keluarga hilang karena hilangnya kualitas itu.

Lagipula, dalam keluarga, ada potensi yang besar, yaitu anak-anak (Mzm. 127:3-4). Potensi mereka sebagai milik pusaka Tuhan, sebagai upah, dan sebagai anak panah sangatlah luar biasa. Namun, potensi itu sangatlah bergantung bagaimana orangtua menjalankan perannya dengan baik.

Kedua, ada ancaman yang coba menghancurkan keluarga yang dibangun dengan benar sesuai Alkitab (Mzm. 127:2). Ancaman itu berasal dari Iblis, setan-setan, dan roh-roh jahat. Dari ayat di atas, ancaman itu antara lain: (1) Mementingkan diri sendiri (Ef. 5:28). Ancaman terbesar pernikahan adalah mencari kepuasan bagi diri sendiri (1Ptr. 3:7; 1Kor. 7:33). (2) Stres—karena kesibukan orangtua dalam ‘mencukupkan kebutuhan’ jasmani dan materi anak-anaknya dan tidak mempedulikan kebutuhan rohani mereka. Iblis bermaksud menyimpangkan atau menyesatkan orangtua untuk mengabaikan anak-anaknya. Orangtua menjadi dingin, tidak peduli, dan hancur sementara anak-anak akan menjadi keras, tidak dipedulikan, dan akhirnya semua jatuh dalam jerat Iblis itu.

Saudara, sebagaimana kita begitu menginginkan dan mengharapkan anak-anak saat sesudah menikah sebagai anugerah Tuhan, demikian juga kita harus memiliki kerinduan untuk melihat mereka hidup di jalan Tuhan dan setiap hari menjadi berkat (Mzm. 37:25-26). Dan selama masih hidup, orangtua perlu memastikan kehidupan anak-anakNya sesuai dengan kehendak Tuhan sebagai wujud pertanggungjawaban kepada Tuhan. Kitalah yang harus mengarahkan ‘anak-anak panah Allah’ ini sehingga mereka akan mencapai sasaran yang dikehendaki Allah.

Sumber: http://zurishaddaiallofgrace.blogspot.com/2011/05/membangun-keluarga-mzm-1271-5-ti-24-5.html

Keluarga

Banyak keluarga yang hancur—hidup tidak, matipun enggan—karena masing-masing yang berperan dalam keluarga itu mementingkan diri sendiri dan mengembangkan rasa tidak bertanggung jawab.

Mementingkan diri yang dimaksud: “Bagaimana pasangan saya memuaskan saya?” “Bagaimana pasangan saya melakukan segala sesuatu dengan cara saya?” “Bagaimana pasangan saya sesuai dengan standar saya?” dll

Suami isteri tinggal serumah tetapi tidak lagi sungguh-sungguh sebagai keluarga dan dalam ikatan pernikahan karena masing-masing menyimpan kepahitan dan kekecewaan terhadap pasangannya. Akibatnya: Suami, isteri, dan anak-anak menderita.

Pelajari dan terapkan 7 konsep dasar ini untuk membantu pasangan suami isteri membangun keluarga yang stabil.

Ikuti Apa yang Diperintahkan Allah dalam Alkitab

(2Tim. 3:16-17)

  1. Allah menginstitusikan pernikahan (Kej. 2:24). Karena itu, pernikahan akan gagal jika pasangan suami-isteri hidup bersama dengan menggunakan aturannya sendiri dan bukan aturan Allah.
  2. Akibatnya: (1) Keluarga berantakan (Kej. 27:1-46); (2) Kesetiaan anak-anak akan terpecah-pecah (1Raj. 1:6); (3) Anak-anak menyimpan kepahitan seumur hidupnya (2Sam. 18).
  3. Prinsipnya:
    1. Semua harus sudah lahir baru (Yoh. 3:3, 7)
    2. Dibaptiskan, bersaksi bahwa hidup lama Anda sudah mati bersama Kristus dan dibangkitkan kembali dalam hidup yang baru untuk melakukan kehendak Allah (Rm. 6:3-5)
    3. Serahkanlah diri Anda masing-masing untuk berlaku yang benar (Rm. 12:1-2)
    4. Baca Alkitab dan berdoalah tiap hari dengan pasangan dan keluarga (Ul. 6:6-7)
    5. Aktiflah dan hadirlah bersama-sama dalam setiap kebaktian dalam jemaat Tuhan yang alkitabiah (Ibr. 10:25)
    6. Carilah kesempatan untuk melayani Tuhan bersama-sama (Rm. 12:11)

Peneguhan Kembali bahwa Pernikahan Itu Komitmen Permanen dan Persatuan yang Tidak Dapat Dipisahkan

(Mat. 19:6)

  • Ingat “Dalam keadaan suka ataupun duka, kaya atau miskin, sehat atau sakit … sampai kematian memisahkan kita.”
  • Peganglah janji ini benar-benar bersama pasangan Anda.

Pernikahan itu Bukan Pembagian 50/50

  1. Pembagian 50/50 ini berarti: “Jika kamu melakukan bagianmu, maka aku akan melakukan bagianku.” Bila tidak dilakukan, jadilah pertengkaran!!
  2. Setiap pasangan harus memenuhi tanggung jawabnya 100%: Suami 100% dan isteri 100%, meskipun seandainya salah satu pasangan tidak dapat memenuhinya. Maksudnya, dengan memberikan 100% tadi, yang kuat akan menguatkan yang lemah,
  3. Perintah Allah dalam pernikahan 100%-100% ini ada dalam Ef. 5:18-33:
    1. Isteri: (1) tunduk pada suami, seperti kepada Tuhan (ingat bahwa ini bukan hanya jika suami melakukan tanggung jawabnya); (2) Isteri hendaknya tidak menggurui suaminya.Dia dapat memenangkan suaminya dengan perilakunya (1Ptr. 3:1)
    2. Suami: (1) kepala keluarga—bukan dalam hal superior-inferior tetapi dalam hal otoritas dan tanggung jawab; (2) Mengasihi isteri, bahkan hingga rela mengorbankan nyawanya (Rm. 5:8); (3) dipenuhi dengan Roh Kudus (Ef. 5:18)
  4. Bagaimana jika kita belum memberikan 100% ini?
    1. Akui dosa dan kegagalan di hadapan Tuhan secara rinci (1Yoh. 1:9-10)
    2. Minta pengampunan pada pasangan karena gagal menjadi pasangan yang dikehendaki Allah.
    3. Belajarlah untuk taat.

Kenali Bahwa Masing-masing Memiliki Kebutuhan Pribadi yang Berbeda-beda

  1. Suami dan isteri masing-masing memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi oleh pasangannya (Ef. 5:33)
  2. Apa yang dibutuhkan isteri?—(a) kasih; (b) mendengar bahwa dia dikasihi; (c) menerima bukti kasih suaminya; (d) rasa aman, perlindungan, dll
  3. Apa yang dibutuhkan suami?—(a) dihormati dan dihargai; (b) mengetahui bahwa isterinya tetap menghargainya, khususnya pada saat ada kegagalan; (c) mengetahui bahwa isterinya bergantung padanya, sama seperti jemaat bergantung pada Kristus.
  4. Jika tidak dipenuhi akan timbul konflik yang mengarah usaha pencarian pemenuhan kebutuhan itu pada orang lain.

Usahakanlah Untuk Memenuhi Kebutuhan Pasangan Anda

(1Kor. 7:3)

  1. Apakah kebutuhan Anda itu sudah cukup terpenuhi oleh pasangan Anda?
  2. Mulailah dari diri Anda untuk memberi lebih dahulu (Luk. 6:38a): Jika kita memberi kasih … kita akan mendapatkan kasih. Jika kita memberi pertolongan, kita akan menerima pertolongan. Jika kita memberi senyum, kita akan menerima senyumam. Jika kita memberi kebencian, kita akan mendapat kebencian pula.

Pandanglah Perbedaan dengan Cara Allah

(1Kor. 7:4-5)

  1. Delapan Langkah Penurunan Hubungan (mengarah pada penceraian):
    1. Hilangnya persekutuan yang hangat, komunikasi, dan kesatuan.
    2. Perangkap perzinaan—saat pasangan mencari pemenuhan kebutuhan untuk kehangatan, komunikasi yang bermakna, kesatuan, hormat pada yang lain selain pasangan mereka—itulah perzinaan. Bandingkan bahwa Allah menyatakan bahwa penyembahan berhala adalah zina (Im. 17:7) demikian juga minta pertolongan kepada mereka (Im. 20:6). Jadi, perzinaan itu bukan hanya hubungan seks di luar pernikahan. Sering kali hal ini karena sedikit perbedaan yang terjadi antara suami isteri, luka hati yang tidak terobati, dan juga kesalahan yang tidak dimaafkan. Memang pasangan itu masih ada seatap, tersenyum, berhubungan fisik. Tetapi persekutuan yang hangat itu telah berakhir.
    3. Untuk menghindari luka yang lebih parah, pasangan yang terluka itu menarik diri dan membangun benteng perlindungan.
    4. Orang yang terluka itu mencari kambing hitam dengan menyakiti orang lain, biasanya anak-anak atau kerabat terdekat yang bersama mereka.
    5. Benteng perlindungan pun akan juga dibangun.
    6. Pernikahan menjadi dingin, formalitas, tanpa makna, kasih, dan komunikasi yang bermakna.
    7. Pasangan tidak lagi memenuhi kebutuhan pasangannya.
    8. Perceraian.
  2. Bagaimana solusi terhadap penurunan hubungan itu?
    1. Gesekan-gesekan oleh karena perbedaan itu harus diselesaikan segera (Mat. 18:15)
    2. Sikap yang perlu dikembangkan adalah pengampunan (Mrk. 11:25; Luk. 17:3-4)
    3. Itulah jalan rekonsiliasi yang dilakukan Allah (Ef. 4:32)
  3. Bagaimana Tuhan mengampuni?
    1. Kristus tidak berdosa, tetpai Dia menanggung dosa, kesalahan, malu, dan penghukuman kita (Rm. 5:8). Itu jugalah yang harus kita lakukan pada orang lain … terlebih pasangan kita (Mat. 5:39). Saat kita benar-benar mengampuni, kita harus menempatkan diri kita di tempat di mana kita bisa kembali disakiti.
    2. Bila pengampunan itu diberikan, dasar pemulihan komunikasi dan keterbukaan dalam pernikahan pun akan kembali terbangun
    3. Selesaikan perbedaan itu dengan cara Allah, jangan pernah mengabaikannya.

Percaya Sepenuhnya Satu Sama Lain

  1. Pernikahan akan kokoh bila didasari oleh saling percaya—termasuk kepercayaan untuk pasangan dapat memulai lagi dari awal meskipun dia telah gagal
  2. Tanda-tanda ketidakpercayaan: (a) cemburu; (b) curiga; (c) tembok perlindungan—batasan-batasan yang tidak masuk akal.
  3. Kita dapat memberikan kepada pasangan kita kepercayaan tanpa syarat hanya jika kita percaya bahwa Tuhan akan menjaganya benar dan menguatkannya bila dia gagal.
  4. Suami harus dapat mempercayai isterinya (Ams. 31:10-11)
  5. Isteri dapat taat pada firman Allah (Ef. 5:22) jika dia percaya suaminya.

Kesimpulan

Bangunlah keluarga dengan prinsip Alkitab!

Sumber: http://zurishaddaiallofgrace.blogspot.com/2011/05/7-cara-alkitabiah-untuk-membangun.html